Info Terbaru

Ima Matul, Pernah Jadi TKW Teraniaya Lalu Bangkit, Kini Jadi Orang Penting Capres Amerika Serikat

JAKARTA – Ima Matul Maisaroh adalah warga Indonesia yang patut dibanggakan saat ini di Amerika Serikat. Di tengah pertarungan panas politik Pilpres di negeri Paman Sam itu, Ima Matul ternyata didaulat menjadi pembicara dalam konvensi Partai Demokrat yang mengusung pasangan Capres Hillary Clinton dan Kaine.

Ima Matul menjadi unik karena prestasinya yang muncul di sela pentas politik Amerika bukan atas nama politik, melainkan misi kemanusiaannya sebagai aktivis anti perdagangan manusia atau Human Trafficking.

Lalu bagaimana perjalanan Ima Matul Maisaroh sehingga bisa dilirik Hillary Clinton untuk berbicara dalam momen pentingnya itu?

 

Ditemui di rumah sederhananya, Orang Tua Ima Matul, Turiyo dan Alimah menceritakan bagaimana Ima bisa terbang ke Amerika Serikat dan bisa sukes seperti sekarang ini bukan dengan cara yang mudah.

”Ima nggak lulus SMA. Waktu itu baru kelas I di SMA Khoirudin, Gondanglegi, lalu ada yang minta (melamar, Red), ya akhirnya kami nikahkan,” tutur Turiyo.

Namun, pernikahan tersebut hanya seumur jagung. Ima berpisah dengan suaminya. Karena tak memiliki pekerjaan, dia pun mendaftar untuk menjadi buruh migran.

”Dia pengin ke Hongkong. Tapi, ada tawaran dari tetangga, katanya ada yang butuh pembantu di Amerika,” jelas Turiyo.

 
 

Akhirnya tawaran bekerja di Negeri Paman Sam itulah yang dia pilih ketimbang rencana semula ke Hongkong. Turiyo mengenang, saat itu dirinya harus menebus Ima Rp 600 ribu dari perusahaan penyalur tenaga kerja tempat Ima mendapat pelatihan.

Akhirnya, pada 1997, Ima yang saat itu berusia 17 tahun pun bertolak ke Amerika Serikat. Bermodal tekad kuat untuk membantu perekonomian keluarga, Ima menerima tawaran bekerja sebagai pramuwisma seorang pengusaha interior desainer asal Indonesia yang bermukim di Los Angeles.

Untung tak dapat diraih, malang tak bisa ditolak. Begitu mendarat di bandara, paspor Ima ditahan majikannya. Selama tiga tahun, Ima harus bekerja lebih dari 12 jam. Hampir setiap hari Ima menjalani siksaan dan pukulan dari si majikan.

Untuk kesalahan kecil yang dibuatnya, Ima harus menerima pukulan dan tamparan berkali-kali. Dia bingung bagaimana mengadu karena waktu itu dia tidak bisa berbahasa Inggris sama sekali.

Setelah tiga tahun mendapat perlakuan buruk, Ima tidak tahan lagi. Pada 2000, perempuan lulusan MTs Miftahul Ulum itu nekat menyisipkan sebuah notes kecil berisi permintaan tolong kepada seorang penjaga bayi tetangganya.

Tetangga itulah yang menolong Ima melarikan diri dari rumah majikannya dan mengantarkannya ke kantor CAST. ”Dia hanya cerita kabur ditolong tetangganya. Lalu, disekolahkan dan diberi kerja kantoran,” tutur Turiyo.

Di AS, setelah beberapa bulan tinggal di rumah penampungan kaum gelandangan dan belajar bahasa Inggris, Ima pun akhirnya bisa tinggal di rumah layak dan bekerja di CAST.

Kinerja dan komitmennya membantu dan memberantas perbudakan pun membuat karirnya cemerlang.

Kariernya sebagai aktivis makin menanjak dan berhasil diundang ke berbagai pertemuan tingkat tinggi di Washington DC. Ima pun berkesempatan bertemu dengan para pejabat tinggi seperti Menteri Luar Negeri John Kerry, bahkan Obama. ”Dia memang cerita, sering ke negara-negara lain,” terang Turiyo.

Saat ini Ima tinggal di Amerika bersama tiga anaknya, yakni Aisyah Feres, Leonardo, dan Ivana. Dua anaknya merupakan buah pernikahan dengan pria asal Meksiko.

Sedangkan yang bungsu merupakan buah perkawinan ketiga Ima dengan pria asal Bandung.